Hena Lo'i, Hena latu Huamual

Hena Lo'i,  Hena latu Huamual
lokki 1652

Sejarah Kerajaan Huamual harus diluruskan.

Banyak orang yang menulis ttg sejarah kerajaan huamual, banyak pendapat yg bertubrukan dan berdampak kepada pemutarbalikan sejarah dari yg sebenarnya.

Rabu, 23 Maret 2011

Nieuw Victoria


Nieuw Victoria


Fakta-fakta sejarah mengenai berdirinya Benteng Nieuw Victoria di Kota Ambon, adalah berawal dari dibangunnya benteng Portugis di pantai Honipopo pada abad ke-16. Batu pertama dari benteng tersebut diletakkan oleh seorang panglima armada Portugis di Maluku, Sancho de Vasconcelos, pada tanggal 23 Maret 1575. Dalam waktu tiga bulan, tembok benteng dan menara-menaranya telah dibangun lengkap dengan sejumlah rumah di dalamnya. Kemudian, benteng itu secara resmi diberi nama “Nossa Senhora da Anunciada”. Pemberian nama tersebut berkaitan dengan hari Kenaikan (“Anunciada”) yang bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan benteng tersebut. Tetapi, menurut para saksi mata dari abad ke-17 dan ke-18, baik Rumphius, Valentijn dan Rijali, di kalangan penduduk Pulau Ambon, benteng tersebut lebih dikenal dengan sebutan “Kota Laha”, yang berarti benteng (“Kota”) di teluk (“Laha”). Benteng Kota Laha berbentuk segi empat mengikuti bentuk benteng batu yang umumnya dibangun di Eropa dalam abad pertengahan. Pada keempat sudutnya dibangun empat buah menara bersegi tiga untuk menempatkan meriam. Karena ancaman terbesar akan datang dari laut, maka kedua menara meriam yang mengarah ke laut dibuat lebih kokoh dari yang mengarah ke darat. Dua gerbang utama menjadi pintu masuk ke benteng tersebut, sebuah terletak pada tembok ke arah laut (untuk muatan kapal-kapal) dan sebuah lagi pada tembok ke arah darat.

Benteng Kota Laha jatuh dari tangan Portugis ke pihak VOC pada tanggal 23 Maret 1605 dibawah pimpinan Admiral Steven van der Haghen, sehingga benteng tersebut hanya berhasil dipertahankan oleh Portugis selama 30 tahun (1575-1605). Kemudian benteng tersebut berganti nama menjadi “Victoria” (kemenangan) pada tahun 1614, sebagai peringatan atas kemenangan Belanda dari Portugis. Kota Laha menjadi satu dari dua benteng di Asia yang berhasil direbut VOC dari Portugis, selain benteng Malaka yang direbut tahun 1648. Kemudian dalam perkembangannya, pada tanggal 17 Februari 1674 terjadi gempa yang dasyat di Pulau Ambon dan pulau-pulau sekitarnya. Akibatnya, benteng Victoria mengalami kerusakan berat, bahkan beberapa bangunan tidak dapat digunakan lagi. Kerusakan dalam benteng Victoria yang diakibatkan oleh gempa segera dapat diatasi. Rumah-rumah kayu yang terdapat dalam benteng tersebut berangsur-angsur diganti dengan bangunan yang lebih baik dan kokoh. Namun pada tahun 1754 terjadi kembali gempa dahsyat yang menimbulkan kerusakan yang sangat parah pada benteng Victoria. Karena kesulitan keuangan, renovasi benteng itu baru selesai akhir tahun 1780-an. Karena perbaikan dan perubahannya sangat banyak, maka sejak saat itu benteng tersebut dinamakan “Nieuw Victoria” (Victoria Baru). Benteng tersebut kini telah mengalami kerusakkkan berat dan kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah Maluku. Hal ini diakibatkan oleh kurang tertanganinya situs budaya tersebut oleh pemerintah yang berwenang dan di akibatkan juga oleh penggunaan situs benteng tersebut sebagai lokasi markas Den Kavaleri KODAM XVI Pattimura.

Selain benteng Victoria di Kota Ambon, Belanda juga mendirikan sebuah benteng kecil di luar Kota Ambon, di sekitar Kaitetu yang dinamakan “Verre”, yang oleh penduduk setempat dinamakan “Kota Warwek” mengikuti nama panglima armada dagang Belanda, bernama Admiral Warwijk yang memimpin pembangunan benteng tersebut. Pada awalnya bangunan tersebut berfungsi sebagai loji yang dibangun Portugis pada tahun 1599 untuk menampung bahan rempah-rempah yang di beli dari penduduk di sekitar daerah itu untuk di bawa ke Ternate dan seterusnya ke Malaka. Setelah Portugis meninggalkan Ambon loji tersebut diambil alih oleh VOC dan akhirnya dijadikan sebagai benteng oleh Pemerintah Hindia Belanda semasa pemerintahan Gubernur Gerrad Demmer. Bangunan benteng tersebut terdiri dari dua lantai dan dilengkapi dengan satu menara pengintai. Lantai atas dipakai sebagai tempat tinggal tentara Belanda, sedangkan di lantai bawah terdapat satu ruang penjara dan dilengkapi dengan gudang mesiu. Benteng tersebut pernah diserang dan dibakar oleh masyarakat Kerajaan Hitu di bawah pimpinan Kakiali pada Perang Hitu tahun 1634. Kemudian benteng tersebut dibangun kembali oleh Arnold de Vlaming van Oushoorn dalam bentuk yang lebih kuat dan besar pada tahun 1649. Benteng tersebut kemudian berganti nama menjadi “Amsterdam”. Belanda juga mendirikan sebuah benteng pertahanan di Desa Passo yang bernama “Middelburg” pada tahun 1626 oleh Robert Padbrugge.

Rumah Residen Amboina yang dibangun oleh Gubernur Adriaan Van der Stel (1706-1720). Kompleks itulah yang pada abad ke-19 berubah menjadi kediaman resmi gubernur maluku dan kini menjadi Markas KODAM XVI Pattimura yang berlokasi di Batu Gajah.Semula bangunan ini berfungsi sebagai Rumah Sakit, dibangun oleh Gubernur Arnold de Vlaming van Oudshoorn (1647-1650), tetapi kemudian direnovasi kembali oleh Gubernur N. Schagen (1691-1696) karena telah mengalami kerusakan akibat gempa yang terjadi pada tahun 1674. Sejak saat itu, rumah sakit tersebut beralih fungsi menjadi kantor peradilan. Pada lantai kedua bangunan itu, ditempatkan “Raad van Justitia” (pengadilan untuk pegawai VOC dan warga kota). Di lantai dua itu pula terdapat kantor dari “Weeskamer” (balai peninggalan harta) dan “Commissarissen der Huwelijkzaken” (kantor urusan pernikahan). Di depan gedung tersebut terdapat sebuah lapangan terbuka dengan tiang gantungan bagi para penjahat yang dijatuhi hukuman mati (Kapitan Pattimura, Said Parenta dan Anthony Rhebok di gantung di tempat tersebut). Letak tiang gantungan tersebut tepatnya di kawasan Tugu Pahlawan Nasional Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura). Kemudian pada abad ke-18, gedung tersebut diberi nama “Stadhuis” (balaikota), tetapi sejak abad ke-19 dikenal sebagai gedung “Landraad” (pengadilan untuk penduduk negeri) hingga kini.Sebuah bangunan megah yang didirikan pada masa pemerintahan VOC di Kota Ambon adalah “pasar” pada tahun 1690, terletak di tepi pantai ke arah barat benteng Victoria (kini menjadi lokasi pertokoan Ambon Plaza). Pembangunannya diprakarsai oleh Gouverneur van Amboina yang memerintah saat itu, yakni Gubernur Dirk de Haas (1687-1691), ukurannya jauh lebih besar dari gedung-gedung gereja yang berada di Kota Ambon. Valentijn mengatakan, bahwa ia belum pernah melihat sebuah pasar yang sedemikian indah dengan letaknya yang begitu bagus sehingga orang bisa menikmati pemandangan teluk dan dermaga yang memanjang dari gerbang laut benteng Victoria. Bahkan bagi Valentijn, pasar ini adalah gedung terindah di Kota Ambon pada masa itu. Bangunan pasar ini tidak bertembok, dan atap gentengnya ditopang oleh sejumlah pilar.Tahun 1695, pada masa gubernur N. Schagen (1691-1696), gereja melayu dibongkar dan dibangun gedung baru yang selesai pengerjaannya pada masa pejabat gubernur cornelis stull (1696-1697) di tahun 1696. Bagian bawah dari tembok gedung gereja terbuat dari batu dan sisahnya dari kayu yang merupakan sumbangan penduduk negeri-negeri di Leitimor. Dalam gereja baru tersebut terdapat sebuah mimbar yang terbuat dari kayu pilihan (kayu langoa dan eboni). Di hadapannya terdapat kursi-kursi khusus untuk para pejabat seperti gubernur, oppercoopman (kepala urusan administrasi), capitein dan anggota-anggota dewan pemerintahan (politike raad)dan untuk anggota-anggota jemaat disediakan bangku-bangku yang juga terbuat dari kayu langoa.Terdapat di jalan Chinesestraat (kini bernama jalan A.J. Patty), letak gereja Melayu berada tepat di gedung PUSKUD. Tetapi akibat Perang Dunia kedua yang pecah pada pertengahan abad ke-20 (1942 – 1945) mengakibatkan gereja tersebut di bom oleh pesawat tempur Jepang.

By : Jeffrey Riry

Rabu, 01 September 2010

Suku Bangsa Maluku

Suku bangsa Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melanesia Pasifik, yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudra Pasifik.

Banyak bukti kuat yang merujuk bahwa Maluku memiliki ikatan tradisi dengan bangsa bangsa kepulauan pasifik, seperti bahasa, lagu-lagu daerah, makanan, serta perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik khas, contoh: Ukulele (yang terdapat pula dalam tradisi budaya Hawaii).

Mereka umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat, dan profil tubuh yang lebih atletis dibanding dengan suku-suku lain di Indonesia, dikarenakan mereka adalah suku kepulauan yang mana aktivitas laut seperti berlayar dan berenang merupakan kegiatan utama bagi kaum pria.

Sejak jaman dahulu, banyak diantara mereka yang sudah memiliki darah campuran dengan suku lain, perkawinan dengan suku Minahasa, Sumatra,Jawa, Madura, bahkan kebanyakan dengan bangsa Eropa (umumnyaBelanda dan Portugal) kemudian bangsa Arab, India sudah sangat lazim mengingat daerah ini telah dikuasai bangsa asing selama 2300 tahun, dan melahirkan keturunan keturunan baru, yang mana sudah bukan ras Melanesia murni lagi. Karena adanya percampuran kebudayaan dan ras dengan orang Eropa inilah maka Maluku merupakan satu-satunya wilayah Indonesia yang digolongkan sebagai daerah Mestizo. Bahkan hingga sekarang banyak marga di Maluku yang berasal bangsa asing seperti Belanda(Van Afflen, Van Room, De Wanna, De Kock, Kniesmeijer, Gaspersz, Ramschie, Payer, Ziljstra, Van der Weden, dll) dan Portugal (Da Costa, De Fretes, Que, Carliano, De Souza, De Carvalho, Pareira, Courbois, Frandescolli, dll). Ditemukan pula marga bangsa Spanyol(Oliviera, Diaz, De Jesus, Silvera, Rodriguez, Montefalcon, Mendoza, De Lopez, dll) serta Arab (Al-Kaff, Al Chatib, Bachmid, Bakhwereez, Bahasoan, Al-Qadri, Alaydrus, Assegaff, dll). Cara penulisan marga asli Maluku pun masih mengikuti ejaan asing seperti Rieuwpassa (baca: Riupasa), Nikijuluw (baca: Nikiyulu), Louhenapessy (baca: Louhenapesi), Kallaij (baca: Kalai), Akyuwen (baca: Akiwen).

Dewasa ini, masyarakat Maluku tidak hanya terdapat di Indonesia saja melainkan tersebar di berbagai negara di dunia. Kebanyakan dari mereka yang hijrah keluar negeri disebabkan olah berbagai alasan. Salah satu sebab yang paling klasik adalah perpindahan besar-besaran masyarakat Maluku ke Eropa pada tahun 1950an dan menetap disana hingga sekarang. Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan kehidupan yang labih baik, menuntut ilmu, kawin-mengawin dengan bangsa lain, yang dikemudian hari menetap lalu memiliki generasi-generasi Maluku baru di belahan bumi lain. Para ekspatriat Maluku ini dapat ditemukan dalam komunitas yang cukup besar serta terkonsentrasi di beberapa negara seperti Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Belgia, Jerman dan berbagai benua lainnya.

SANIRI NEGERI

Jauh pada masa leluhur di Maluku (di pulau Seram) terdapat dua suku yakni Alune dan Wemale. Dalam suku-suku itu hidup kelompok-kelompok kecil masyarakat, atau keluarga yang membentuk satu persekutuan mata rumah. Kelompok mata rumah terdiri dari beberapa keluarga yang berasal dari satu leluhur. Mata rumah-mata rumah itu kemudian membentuk satu unit sosial yang disebut soa.


Tiap-tiap soa dipimpin oleh seorang upu, dan menempati bagian wilayah di dalam Aman atau Hena. Masing-masing soa membagi wilayahnya, di mana batas antarsoa ditandai dengan batu teung. Di dalam masyarakat tipe ini belum ada pembagian wewenang yang tegas.

Aman dipimpin oleh seorang Upu. Karena awalnya upu adalah juga pemimpin soa, maka upu yang memimpin aman biasa disebut Amanupui, atau di tempat lain disebut Latu-Nusa. Dalam aman pola pengorganisasian sosial mulai berkembang. Cooley menulis bahwa “upu bertanggung jawab atas semua urusan keduniaan. Dalam urusan peperangan ia dibantu oleh seorang malessi. Sedangkan urusan agama dan “dunia seberang” diselenggarakan oleh mauweng dan pembantunya malimu atau maitale (Cooley, 1987:222).

Pola pembagian tugas dan peran sosial seperti itu menunjuk bahwa belum ada perbedaan yang mencolok dalam pola pengorganisasian masyarakat. Peran-peran masih bersifat sederhana, meliputi segmen-segmen sosial yang terbatas, berkaitan dengan bagaimana hidup di alam dan bagaimana hubungan masyarakat dengan dunia seberang. Bobot peran dipegang tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat, karena kharisma dan legitimasi tradisional (misalnya raja oleh mata rumah yang telah dikhususkan).

Lambat laun soa menjadi besar. Muncul usaha untuk memperluas teritori baik secara spontan maupun “agresi sosial”. Peperangan atarsuku Wemale dan Alune misalnya dalam sejarah migrasi orang-orang Wemale di Honitetu dengan Alune di Rumberu, memperlihatkan bahwa konflik menjadi bagian dari upaya pembentukan teritori baru. Pertambahan anggora soa dan/atau konflik mendorong ekspansi sosial untuk memperluas dan/atau mencari teritori baru ke luar pulau Seram. Terjadilah gelombang migrasi beberapa mata rumah atau soa pada satu aman/hena dari Seram ke Ambon-Ulias.

Pada masa migrasi leluhur sebagian besar migran dipimpin oleh seorang kapitan. Di negeri yang baru, struktur dan sistem pemerintahan Aman dipertahankan. Hanya saja kepala pemerintahan ialah kapitan (menggantikan posisi dan tempat Amanupui/Latu-Nusa), dibantu oleh malessi dan mauweng. Pembantu-pembantu lainnya ialah marinyo, dan kewang. Masa kepemimpinan kapitan relatif singkat; lebih banyak berkaitan dengan perebutan atau penetapan teritori baru. Sampai dengan penetapan sebuah teritori sebagai teritori defenitif, kapitan masih berfungsi untuk beberapa saat hingga diangkatnya Amanupui yang baru. Setelah itu, kapitan bertugas menangani urusan keamanan dan peperangan.

Penetrasi Ternate ke Ambon, melalui Hitu, turut pula membawa gelombang perobahan dalam tatanan pemerintahan lokal (autochtnous form of government). Sistem uli diperkenalkan sebagai suatu bentuk pemerintahan di Ambon. Namun, corak pemerintahannya jelas berbeda dengan tatanan sebelumnya. Oleh orang-orang Ambon, sistem ini malah dijadikan sebagai semacam sistem koordinasi plitis antaraman/hena; terutama yang memiliki garis keleluhuran dan pola penataan sosial yang (mirip) sama.

Dalam sistem uli, posisi aman tetap dipertahankan, malah setiap aman tetap memiliki pemimpinnya sendiri. Di Ambon, jejak peninggalan Uli terlihat seperti Uli Helawan, Uli Seilessy, Uli Sawani, Uli Hatunuku, Uli Ala, Uli Nau Bunau dan Uli Solameta, dan kemudian menjadi satu Uli yaitu Uli Hitu (Leihitu); atau Uli Nusanive, Uli Urimessing, Uli Terangbulan, Uli Sirimahu, Uli Ema (Leitimor).

Ketika penetrasi Portugis, sistem-sistem pemerintahan ini tidak mengalami pergeseran yang berarti. Kurang terasa di Leihitu, karena klik Ternate berdampak pada tergesernya Portugis ke Leitimor. Tetapi di Leitimor, justru persekutuan Uli ini digunakan dalam sistem pekabaran injil, sehingga setiap negeri merupakan pusat Uli, menjadi pusat jemaat untuk pengembangan kekristenan, yang bertugas mengkoordinasi negeri-negeri dalam persekutuan Ulinya.

Penetrasi Belanda yang membawa perubahan cukup serius dalam tatanan pemerintahan negeri itu. Persekutuan Uli tereliminasi dengan jalan menghidupkan kembali negeri-negeri sebagai sebuah “republik” yang dipimpin oleh seorang Raja. Raja mendapat tempat cukup istimewa sebagai bagian dari admininstratur residen. Malah menurut Cooley, mereka digaji cukup, dan juga mendapat bonus dari setiap anggota masyarakat yang menjadi pasukan Hongi. Di sini muncul jabatan baru dalam komposisi Saniri Negeri yakni “juru tulis” (orang yang berpendidikan).

Walau demikian, masa itu di setiap negeri dapat dijumpai Saniri Negeri, yang memperlihatkan telah adanya pola pembagian wewenang yang cukup modern. Pemerintahan telah berlangsung dalam corak adatis yang kuat. Setiap sistem dan elemen pemerintahan bertugas pada masing-masing sektor yang telah ditetapkan sejak zaman dahulu.

Mengenai Saniri sendiri, di setiap negeri terdapat tiga lembaga Saniri, yakni Saniri Rajapatih (dewan raja dan pembantunya), Saniri Negeri Lengkap, dan Saniri Negeri Besar. Saniri Negeri bertugas memilih anggotanya yang berasal dari setiap soa. Jabatan lain yang melengkapi struktur Saniri ini adalah kapitan, malessi, mauweng, kewang, marinyo; untuk tugas-tugas kemasyarakatan.

Situs Pemukiman Kuno ditemukan di Desa Hatusua

Balai Arkeologi Ambon menemukan situs pemukiman kuno di pesisir pantai Pulau Seram bagian barat atau persisnya di Desa Hatusua, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.

Salah satu peneliti di Balai Arkeologi Ambon, Wuri Handoko, di kantornya, mengatakan tim dari Balai Arkeologi Ambon memastikan tanah lapang yang sekarang kondisinya ditumbuhi rerumputan itu sebagai pemukiman kuno berdasarkan pada barang-barang yang ditemukan di sana.

Barang itu seperti banyaknya pecahan gerabah, pecahan keramik, dolmen atau batu meja, bekas pagar batu, dan rangka manusia. Semua ditemukan tersebar di lahan seluas lebih dari satu hektar.

Sayangnya saat ini, lokasi situs pemukiman kuno itu terancam keberadaannya karena aktivitas manusia.

Bebatuan gamping dari Goa Pintu Tujuh banyak diambil penambang batu guna dipakai pembangunan gedung perkantoran Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat. Selain itu, lahan kosong tempat situs pemukiman kuno berada, beberapa diantaranya di manfaatkan untuk ladang warga.

Balai Arkeologi Ambon merencanakan bertemu dengan masyarakat setempat dan pemerintah guna mensosialisasikan temuan ini. Harapannya, setelah disosialisasikan ada perlindungan terhadap situs itu mengingat pentingnya situs sebagai lapangan studi arkeologi, sejarah budaya, bahkan bisa dimanfaatkan sebagai obyek wisata, jelasnya.

Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

SUKU WEMALE











Wemale adalah kelompok etnis di pulau Seram, Indonesia. Mereka berjumlah 9.000 dan tinggal di 39 desa di pulau Seram. Seperti suku Alune di barat, mereka berasal dari kelompok nenek moyang yang sama, yang disebut Patasiwa.

Budaya Wemale telah banyak berubah pada dekade-dekade terakhir karena konsumerisme merusak nilai tradisional.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Temuan Dokumen Sejarah Sulawesi Tenggara: Surat Tertua Kerajaan Buton dari Abad Ke-17 M

Temuan Dokumen Sejarah Sulawesi Tenggara: Surat Tertua Kerajaan Buton dari Abad Ke-17 M
Suryadi
15 July 2010

Pendahuluan
Dalam studi pernaskahan Nusantara, genre surat sudah menjadi objek kajian tersendiri yang telah menarik para peneliti untuk membahas kandungan isi, iluminasi, bahasa dan aksara, mohor/cap, serta aspek historisnya. Umumnya surat-surat Melayu dari abad ke-17 yang sekarang masih tersimpan di beberapa perpustakaan di dunia dianggap cukup tua, meskipun tercatat ada dua pucuk surat yang dikirim oleh Sultan Ternate yang masih kecil, Bayan Sirullah, kepada Raja Portugal, John III, masing-masing bertarikh 1521 dan 1522 yang menurut C.O. Blagden [1] dan Annbel Teh Gallop [2] (1994:120, 123) adalah naskah Melayu yang tertua di dunia. [3] Kedua pucuk surat itu sekarang tersimpan di Arquivos Nacionais Torre do Tombo, Cidade Universitaria, Lisabon, Portugal.

Dalam artikel ini saya membahas sepucuk surat berusia hampir 350 tahun dari Kerajaan Buton yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden/Universiteitsbibliotheek Leiden (UB Leiden), Belanda, dengan kode K.Ak.98 (4). [4] Surat tersebut, yang ditulis dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab-Melayu [Jawi]), sudah pernah dibicarakan oleh W.G. Shellabear kurang dari 170 tahun yang lalu bersama sejumlah naskah Melayu lainnya dari abad ke-16 dan 17 yang tersimpan di beberapa perpustakaan di Inggris dan Belanda, [5] namun mungkin tak banyak diketahui di Indonesia.

Sejauh yang saya ketahui, K.Ak.98 (4) adalah surat dari Kerajaan Buton yang tertua yang masih terselamatkan sampai sekarang. Dari kodenya dapat diketahui bahwa surat itu tidak termasuk koleksi naskah-naskah Nusantara yang dihadiahkan oleh para pemilik naskah semula—seperti Van der Tuuk, C. Snouck Hurgronje, dll.—yang biasanya dalam koleksi khusus (bijzonder collecties) UB Leiden dicatat dengan kode Or (singkatan dari Orientalis). Rupanya K.Ak.98 termasuk dalam koleksi naskah-naskah milik beberapa orang kolektor yang sudah meninggal atau suatu lembaga yang statusnya dipinjamkan atau dititipkan di UB Leiden (loan-collections). Dua di antara loan collections itu adalah naskah-naskah milik De Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (disingkat KNAW) yang diberi kode K.Ak.) yang ditempatkan di UB Leiden sejak tahun 1856 dan koleksi milik Het Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG) [6] . Jelas bahwa K.Ak.98 (4) berasal dari koleksi KNAW (yang dikenali dari kata `Acad` pada naskah-naskahnya).

Menurut informasi sebuah katalog, K.Ak.98 (4) adalah:

Epistola Malaïca (2 [7] ) praetoris navalis Boetonensis, Laut, mense Oct. a. 1669 ad eumdem missa.
Excusat se, quod, bello finito, Bataviae non comparuit, quippe morte Radjae Boetoni impeditus. [8]

Terjemahannya:

Surat dalam bahasa Melayu oleh Komandan Laut [Kapitalao] Buton, Laut, bulan Oktober 1669, dikirimkan kepada orang yang sama [Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker]. Ia [Kapitalao] sendiri mohon maaf atas ketidakhadirannya di Batavia setelah perang [antara VOC dan Gowa] berakhir karena ia dicegah untuk pergi [ke Batavia] disebabkan oleh wafatnya Raja Buton.

Rupanya ada sepucuk surat lagi dari Buton dalam bundel K.Ak.98, yaitu nomor 5, tapi hanya terjemahan Belandanya saja yang tersedia, sedangkan surat aslinya tidak ditemukan lagi. Menurut P. de Jong, K.Ak.98 (5) adalah:

Versio Belgica epistole Malaïcae a Sultano Boetoni, ao 1670 scriptae ad eumdem. Sultanus queritur de tumultu, in urbe Boeton exorto, et a Gubernatore auxilium petit. [9]

Terjemahannya:

Terjemahan bahasa Belanda atas surat dalam bahasa Melayu dari Sultan Buton, ditulis pada tahun 1670 kepada orang yang sama [maksudnya: Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker]. Sultan mengeluh tentang kerusuhan yang pecah di kota Buton [Bau-Bau] and memohon bantuan kepada Gubernur [Jenderal untuk mengatasinya].

Artikel ini tidak membahas K.Ak.98 (5) karena saya masih memerlukan waktu dan bantuan banyak pihak untuk membaca terjemahan surat tersebut yang ditulis dalam bahasa Belanda abad-17 yang orang Belanda masa kini saja banyak yang tidak mampu membacanya. Dengan demikian fokus pembicaraan saya dalam artikel ini hanyalah surat yang pertama saja: K.Ak.98 (4).

Walaupun W.G. Shellabear (1898) telah menyajikan versi ketik ulang K.Ak.98 (4) dalam aksara Jawi, transliterasi Latinnya (dengan memakai sistem pelafalan menurut dielek Melayu Semenanjung Malaysia) dan terjemahannya dalam bahasa Inggris, saya kira tetap ada manfaatnya menyajikan kembali transliterasi K.Ak.98 (4) dalam artikel ini. Saya menyajikan transliterasi K.Ak.98 (4) dalam bahasa Indonesia, mengikut kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan melengkapinya dengan foto digital naskah aslinya serta pembicaraan yang lebih rinci mengenai konteks sosio-historis surat itu yang tidak dibahas secara mendalam oleh Shellabear. Lagipula, publikasi Shellabear yang sudah klasik itu, dan ditulis dalam bahasa Inggris, mungkin cukup sulit ditemukan di Indonesia. Hal ini menjadi pertimbangan pula bagi saya untuk memperkenalkan kembali naskah asli dan transliterasi K.Ak.98 (4) dalam artikel ini, dengan tujuan utama pembaca di Indonesia.

Berikut adalah transliterasi (alih aksara) K.Ak.98 (4).

Transliterasi K.Ak.98 (4)

/1/ [10] Bahwa surat ini pada menyatakan tulus dan ikhlas daripada Paduka Sahabat Kaicil Jitangkalawu [11] , Kapiten /2/ Laut Buton, menyampaikan tabe banyak2 datang kepada Paduka Sahabat Heer Gurnadur Jenral Yohan /3/ Metsyaker [12] yang memegang kuasa Kompanyi dalam kota Betawih, akan memerintahkan segala pekerjaan Kompanyi /4/ serta dengan segala sahabatnya raja2 dari bawah angin. Maka dianugrahkan Allah Subhanahu wataala bertambah2 /5/ kebajikan dalam dunia dan yang diterangkan hatinya, maka kharijlah segala akal budi bicaranya /6/ yang baik dan menolong daripada orang yang kena kesukaran dan yang mengetahui daripada hati orang, /7/ maka termasyhurlah dari atas angin dan di bawah angin yang memujikan harapnya lagi budiman /8/ serta dengan bijaksanaannya dan ialah meneguhkan setianya perjanjian pada segala raja2, tiada akan /9/ berubah2 lagi demikian itu, maka dipanjangkan Allah umur dan selamat dan berkat supaya kita /10/ bersahabat, Ternate serta Buton dan Kompanyi, agar jangan bercerai-cerai selama-lamanya.

Adapun kemudian /11/ dari itu bahwa sahabat Kapiten Laut memeri maklum kepada Gurnadur Jenral tatkala disuruh oleh /12/ sahabat Raja Buton, kami mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada Amiral /13/ Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita, hanya maklumlah Kapiten /14/ Laut apabila kuasa Kompanyi serta dengan kuasa Allah akan menyudahi daripada pekerjaan kita hendaklah /15/ Kapiten Laut menunjukkan muka pada Heer Gurnadur Jenral juga supaya puaskan hati. Tetapi /16/ pada sekarang ini Admiral pulang ke Jakatra, hanya Tuan kami Raja Ternate lagi duduk dari Mengkasar, maka /17/ sahabat Kapiten Laut pun duduk sama2 dengan Tuan kami Raja Ternate.

Seperkara pula, ada raja /18/ Buton pun sudahlah pulang ke rahmatullah, kembali daripada asalnya, meninggalkan dunia mengadap ke Negeri /19/ akhirat, sebab itulah maka sahabat Kapiten Laut tiada jadi pergi ke Jakatra menunjukkan muka kepada /20/ Heer Gurnadur Jenral di Betawi, karena adat kami demikian itu apabila raja yang mati /21/ upama seperti datang hari kiamat, jadilah haru biru dalam negeri itu. Oleh pada pikir /22/ Sahabat Kapiten Laut baiklah kami sama2 dengan r [14] Tuan Raja Ternate duduk lagi di Mengkasar. /23/ Ampun2 seribu ampun kepada Sahabat Heer Gurnadur Jenral juga, tiada ada cendera mata /24/ pada sesuatu kepada Heer Jenral melainkan budak laki dua orang akan tanda tulus dan ikhlas /25/ juga, upamanya seperti dua biji sawi, jangan diaibkan. Karena Sahabat Kapiten Laut /26/ orang yang bebal lagi daif mengatur perkataan surat ini, maka jikalau ada salah pun melainkan /27/ maaf juga kepada Heer Gurnadur Jenral. Tamat.

Tertulis dalam Benteng Parinringa yang bedekatan dengan kota Rotterdam dualapan [15] sembilan [16] likur hari dari bulan Jumadilawal pada tahun Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wasalam seribu dualapan puluh genap. [17]

Bahasa K.Ak.98 (4): Catatan ringkas

Ketuaan K.Ak.98 (4) dapat dikesan dari beberapa kata yang memang jarang ditemukan dalam surat-surat Melayu pada masa yang lebih kemudian. Kata `Kompanyi` (maksudnya VOC, Verenigde Oost-Indische Compagnie) jelas menunjukkan ketuaan surat ini. Ini adalah bentuk yang lebih arkais dari kata `Kompeni` yang lebih banyak dipakai dalam surat-surat Melayu yang berasal dari abad yang lebih belakangan (abad ke-18 dan 19).

Setidaknya ada beberapa kata lagi yang menunjukkan ketuaan surat ini. Kata `jenral` pada `Gurnadur Jenral` juga sering dipakai dalam surat-surat Melayu dari abad ke-17, tetapi cenderung berubah menjadi `jendral` (atau `jenderal`) dalam surat-surat Melayu dari abad-abad sesudahnya (abad ke-18 dan 19); demikian juga kata `amiral` (pangkat kemiliteran; dalam konteks surat ini disebut nama `Amiral Speelman`) yang dari abad-abad sesudahnya sering ditulis `admiral`. Kata `Jakatra`—nama lain untuk Betawi (Batavia) yang sekarang bernama Jakarta—amat jarang ditemukan dalam surat-surat Melayu abad ke-18 dan 19; kata itu justru muncul dalam beberapa surat Melayu dari periode yang lebih awal, seperti dalam K.Ak.98 (4) ini.

Kata `memeri` (untuk bentuk dasar `beri`) cukup terkesan arkais juga, walaupun sebenarnya dalam periode yang lebih belakangan (abad ke-18 dan 19) bentuk ini masih dipakai dalam naskah-naskah Melayu, termasuk surat-surat, dari wilayah tertentu di Nusantara. Tentu saja cukup mengherankan pula bahwa kota yang sekarang disebut `Makassar` dalam surat-surat raja-raja lokal dari Indonesia timur pada abad ke-16 sampai awal abad ke-20 selalu ditulis `Mengkasar`. Saya belum tahu kapan terjadi perubahan pelafalan ini dan apa penyebabnya. Namun, menurut dugaan saya, pelafalan `Makassar` seperti dikenal sekarang mungkin didasarkan atas dokumen-dokumen Belanda dari zaman kolonial, bukan berdasarkan penulisan yang ditemukan dalam dokumen-dokumen pribumi seperti surat-surat Melayu dari raja-raja lokal tersebut.
art-mei-25-suryadi
K.Ak.98 (4)
Sumber: Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden

Konteks Kesejarahan K.Ak.98 (4)

Setelah membaca alih aksara K.Ak.98 (4) yang tersaji di atas, dapat diketahui bahwa penulis surat ini menyebut dirinya “Paduka Sahabat Kaicil Jitanggalawu, Kapiten Laut Buton”. Surat ini ditujukan kepada “Paduka Sahabat Heer Gurnadur Jen[d]ral Yohan Metsyaker yang memegang kuasa Kompanyi dalam kota Betawi(h)”. Jelas maksudnya adalah Gubernur Jenderal VOC ke-12, Joan Maetsuycker (1653-1678; lihat catatan 12).

Jelas bahwa K.Ak.98 (4) ditulis tak lama setelah Gowa dikalahkan oleh VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman. [18] Isi surat ini cukup menggambarkan posisi politik Buton selepas Perjanjian Bongaya (1667) melalui mana VOC berhasil menekan ambisi politik Kerajaan Gowa yang sering menginvasi kerajaan-kerajaan tetangganya, termasuk Buton.

Isi K.Ak.98 (4) antara lain menyebutkan: “[S]ahabat Kapiten Laut [Buton] mem[b]eri maklum kepada Gurnadur Jen[d]ral tatkala disuruh oleh Sahabat Raja Buton kami mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada A[d]miral Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita”.

Jadi, Kapiten Laut (Kapitalao) Buton itu mewakili Sultan Buton, rajanya, yang tampaknya tidak bisa datang ke Makassar untuk bertemu dengan Cornelis Speelman, Admiral VOC yang telah berhasil menaklukkan Gowa dan menjadikan kekuatan politik VOC bercokol lebih kuat di Indonesia timur.
Sejarah mencatat bahwa setelah Perjanjian Bongaya ditandatangani, Buton menjadi bebas dari tekanan Gowa dan jadi dekat dengan Ternate yang menjadi saingan Gowa. Tetapi sebagai imbalannya “hendaklah Kapiten Laut [Jitanggalawu] menunjukkan muka [ke]pada Heer Gurnadur Jen[d]ral juga supaya puaskan hati” Gubernur VOC itu. Walaupun pengancam regional, Gowa, sudah dikalahkan oleh VOC, hubungan antara Ternate dan Buton tidak selalu baik.

Selanjutnya K.Ak.98 (4) menceritakan bahwa Admiral Speelman kembali ke Jakatra (nama yang lebih awal untuk kota Batavia, biasa ditulis `Jacatra` dalam dokumen-dokumen Belanda dari abad ke-16 dan 17), sementara “Sahabat Kapiten Laut [Jitanggalawu] pun duduk sama2 dengan Tuan […] Raja Ternate” di Makassar. Tidak disebutkan nama Raja Ternate itu, tapi kemungkinan besar adalah Sultan Mandarsyah (1645-1675) [19] .

Penyebab batalnya Kapitalao Jitanggalawu pergi ke Batavia jadi jelas menjelang akhir surat ini: karena “Raja Buton [...] pun sudahlah pulang ke rahmatullah, kembali daripada asalnya, meninggalkan dunia mengadap ke negeri akhirat”, sebab itulah ia urung “pergi ke Jakatra menunjukkan muka kepada Heer Gurnadur Jen[d]ral di Betawi”, karena dalam adat Buton “apabila raja yang mati u[m]pama seperti datang
hari kiamat, jadilah haru biru dalam negeri.”

Jadi, tampaknya Kapitalao Jitanggalawu tidak berani pergi jauh ke Batavia/Jakatra karena Rajanya baru saja mangkat. Kutipan di atas juga menggambarkan bagaimana reaksi masyarakat Buton masa lampau jika raja mereka meninggal: seluruh lapisan masyarakat berkabung dan hari mereka berada dalam kesedihan yang mendalam. Abdullah bin Muhammad al-Misri dalam karyanya, Hikayat Raja-Raja Siam (1823 atau 1824) menggambarkan kebiasaan yang berlaku di kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia timur pada masa lampau apabila seorang raja mangkat:

Sebermula adapun raja-raja di tanah Bugis dan Ternate dan tanah sebelah timur, apabila ada raja-raja itu mati, maka berkeliling segala perempuan yang baik rupanya dan suaranya memegang kipas, maka bersyair menembang itu berpuluh-puluh hari, maka baru ditanam, dan tetapi tiada dibakar seperti [di] Siam dan Bali, maka inilah dikata ada lagi agama Hindu kepada segala negeri bawah angin ini dan banyak lagi orang yang menyembah yang lain daripada Allah taala. [20]

Catatan Abdullah bin Muhammad al-Misri di atas merefleksikan pengamalan unsur kepercayaan pra-Islam di kalangan penduduk kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia timur pada abad ke-17, ke-18, dan ke-19, termasuk Buton. Dalam kebudayaan masyarakat Buton masa lampau, bahkan sampai pada periode yang belum lama berselang, sinkretisme antara kepercayaan yang lebih kuno dengan Islam yang datang kemudian begitu kuat. [21]

Siapakah gerangan Raja Buton yang mangkat yang disebutkan dalam K.Ak.98 (4)? Sebelum membahas itu, baiklah saya kutip alih aksara kolofon surat tersebut: “Tertulis dalam Benteng Parinringa yang be[r]dekatan dengan kota Rotterdam dua lapan (; kata sisipan, Suryadi) likur hari dari bulan Jumadil Awal pada tahun Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wassalam seribu dua lapan puluh genap”.

Jadi, K.Ak.98 (4) ditulis di Benteng Parinringa, dekat Benteng Rotterdam di Makassar, pada 8 (atau 9) Jumadilawal 1080 H”. Jika dikonversikan ke tahun Masehi: 8 Jumadilawal 1080 H = 4 Oktober 1669; 9 Jumadilawal 1080 H = 5 Oktober 1669. Kata “sembilan” disisipkan belakangan, tampaknya ada kesalahan penulisan tanggal, lalu dibetulkan. Jadi, sangat mungkin tanggal penulisan surat ini adalah 5 Oktober 1669 (lihat catatan 17).

Dengan demikian, sangat mungkin Raja Buton yang diberitakan mangkat oleh Kapitalao Jitanggalawu dalam suratnya itu adalah La Simbata atau Sultan Adilil Rakhiya (1664-1669), Sultan Buton ke-10. Nama lain beliau adalah Mosabuna I Lea-Lea. Beliau turun tahta karena melepaskannya, bukan meninggal atau dikudeta. Sultan Adilil Rakhiya digantikan oleh Sultan Kaimuddin atau La Tangkaraja (1669-1680). [22]
Sultan Adilil Rakhiya mangkat di tahun-tahun awal kekuasaan Sultan Kaimuddin, penggantinya, tidak lama setelah kerusuhan di Wasongko dan Lasadewa akibat kasus Sapati Kapolangku yang menimbulkan terjadinya kesalahpahaman antara Ternate Buton. [23] Jika kita merujuk lagi kepada kolofon K.Ak.98 (4), maka dapat diperkirakan bahwa Sultan Adilil Rakhiya (La Limbata) mangkat sebelum bulan Oktober 1669.

Sampai batas tertentu, kolofon K.Ak.98 (4) juga memberi petunjuk tentang wewenang dan kekuasaan seorang kapitalao Buton. Rupanya dalam keadaan darurat, kapitalao boleh menulis surat dari tempat yang jauh dari Istana Buton. Kapitalao, bersama dengan jurubahasa (jurubasa) sering mewakili sultan apabila hendak berhubungan dengan pihak-pihak luar seperti Belanda dan Inggris. [24]

Surat Kapitalao Jatinggalawu (K.Ak.98 (4)) diakhiri dengan penutup yang menyebut hadiah dua orang budak laki-laki yang dipersembahkan kepada Gubernur Jenderal Maetsuycker. Ungkapan “upamanya seperti dua biji sawi” (baris 25) yang dipakai dalam surat itu, yang mengandung nada merendah, adalah salah satu ciri khas surat-surat Melayu lama. Namun, ungkapan merendah ini berbeda-beda redaksinya antara satu surat dan surat lainnya yang berasal dari daerah yang berbeda di Nusantara. [25]

Demikianlah sedikit ulasan mengenai teks dan konteks K.Ak.98 (4). Diharapkan apa yang telah diuraikan dalam artikel ini dapat menambah informasi mengenai masa lampau negeri Buton. Menurut saya, alangkah bagusnya kalau surat Buton yang cukup tua ini direproduksi dan hasil repronya dapat disimpan di salah satu museum di Bau-Bau atau di Museum Propinsi Sulawesi Tenggara.




Penulis adalah dosen dan peneliti pada:

Faculteit Geesteswetenschappen,

Universiteit Leiden, Belanda

(e-mail: s.suryadi@hum.leidenuniv.nl)


Kepustakaan:
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
Bladgden, C.O. “Two Malay letters from Ternate in the Moluccas, written in 1521 and 1522”, dalam Bulletin of the School of Oriental Studies, London: University of London 6 (1930-1932), hlm. 87-100.
Chambert-Loir, Henri, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & École Franęaise d`Extrême-Orient.
De Jong, P., Catalogus Codicum Orientalium Bibliothecae Academiae Regiae Scientarium, Lugduni Batavorum: E.J. Brill & Academiae Typographus, 1862.
Gallop, Annabel The, The Legacy of Malay Letter; Warisan Warkah Melayu, London: The British Library, 1994.
Monique Zaini-Lajoubert, Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri, Jakarta: École Franęaise d`Extrême-Orient.
Muridan Widjojo, “Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistence in Maluku During the Revolt of Prince Nuku, c.1780-1810, PhD Dissertation, Leiden University, 2007, hlm. 262.
Proudfoot, Ian, Old Muslim calendar of Southeast Asia, Leiden-Boston: Brill, 2006.
Schoorl, Pim, Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton, Jakarta: Djambatan, 2003.
Shellabear, W.G., “An account of some of the oldest Malay MSS. Now extant”, dalam Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society 31, 1898, hlm. 107-151.
Skinner, C. (ed.), Syair Perang Mengkasar; Sebuah Reportase Sastrawi Bergaya Melayu dari Jurutulis Sultan Hasanuddin tentang Kejatuhan Salah Satu Kerajaan Besar di Abad XVII, a.b: Abdul Rahman Abu, Makassar: Ininawa-KITLV, Jakarta, 2008.
Suryadi, “Surat-surat Sultan Bima Abdul Hamid kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Makalah dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XI, Bima-Nusa Tenggara Barat, 26-28 Juli 2007.
_______, “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda”, dalam Jurnal Humaniora, Vol. 19, No.3, Oktober 2007, hlm. 284-285.
_______, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Jurnal Sari 25, 2007, hlm. 189.
Uli Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yanassa & Yayasan Obor Indonesia, 2006.
van Putten, L.P., Gouverneurs-generaal van Nederlands-Indië, Deel 1: ambitie en onvermogen: 16-10-1796, Rotterdam: ILCO-Productions, 2002.

__________
Sumber Foto:
[1] Lihat C.O. Bladgden, “Two Malay letters from Ternate in the Moluccas, written in 1521 and 1522”, Bulletin of the School of Oriental Studies, University of London 6 (1930-1932): 87-100.
[2] Annabel Teh Gallop, The legacy of Malay letter; warisan warkah Melayu [with an essay by E. Ulrich Kratz) (London: The British Library, 1994), hlm. 122, 196.
[3] Walau bagaimanapun pendapat ini tentu tidak berlaku lagi setelah Uli Kozok menemukan Kitab Undang-undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan ditulis pada abad ke-14 atau awal abad ke-15. Lihat Uli Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: naskah Melayu yang tertua (Jakarta: Yanassa & Yayasan Obor Indonesia, 2006).
[4] Ketika saya mengadakan penelitian mengenai surat-surat Sultan Buton Mahyuddin Abdul Gafur (1791-1799), Dayyan Asraruddin (1799-1822), dan Kaimuddin 1 (1824?-1851) yang tersimpan di UB Leiden, keberadaan K.Ak.98 (4) sudah saya informasikan selintas. Lihat Suryadi, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Jurnal Sari 25 (2007): 189; Suryadi, “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda”, Jurnal Humaniora, Vol. 19, No.3 (Oktober 2007): 284-85.
[5] W.G. Shellabear, “An account of some of the oldest Malay MSS. Now extant”, Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society 31 (1898): 107-151.
[6] Ada dua kelompok koleksi NBG yang ditempatkan di UB Leiden: koleksi NBG yang berisi naskah Jawa dan Sunda ditempatkan di UB Leiden sejak tahun 1905; koleksi yang disebut NBG-Klinkert (umumnya berisi naskah-naskah Melayu) ditempatkan di UB Leiden sejak tahun 1915.
[7] Nomor ini dalam Katalog Jong ( 1862; lihat catatan 8 ) merujuk kepada naskah-naskah (termasuk surat-surat) yang berbahasa Melayu dan beraksara Jawi.
[8] P. de Jong, Catalogus codicum orientalium Bibliothecae Academiae Regiae Scientarium. (Lugduni Batavorum: E.J. Brill & Academiae Typographus, 1862, hlm. 291-2). Naskah-naskah koleksi KNAW yang dititipkan di UB Leiden umumnya berbahasa Arab, dan hanya sedikit di antaranya berbahasa Melayu, seperti beberapa surat yang terdapat dalam bundel K.Ak.98.
[9] P. de Jong, Catalogus codicum orientalium, hlm. 292. Selain dua surat dari Buton yang telah saya sebutkan di atas, dalam bundel K.Ak.98 ini terdapat sejumlah surat lainnya dari Nusantara, antara lain dari Bima, Indrapura (pantai barat Sumatra),Ternate, Mataram, dan Jambi (beberapa di antaranya hanya terjemahan bahasa Belandanya saja yang tersedia). Lihat P. de Jong (ibid.), hlm.291-93. Dua di antaranya, yaitu K.Ak.98 (11 & 12), pernah dialihkasarakan oleh Annabel Teh Gallop, tapi tampaknya belum pernah dipubliksikan. (Terima kasih kepada Annabel yang telah memberitahu saya meengenai hal ini melalui beberapa email dan mengirimi saya hasil transliterasi kedua surat tersebut).
[10] Angka yang diapit oleh tanda / / merujuk kepada urutan baris pada surat aslinya (lihat gambar).
[11] Shellabear (1898:132; lihat catatan 5) mentransliterasikannya `Jinggalawu`, dan `Jipalawu` menurut filolog Buton, Hasaruddin, (komunikasi pribadi, 27 April 2009). Namun menurut saya, kata itu harus dibaca `Jitangkalawu`, jika tidak `Jitangdaawu`. Persoalannya adalah keragu-raguan untuk memastikan huruf kelima pada kata itu: apakah k, g, atau d? Namun tampaknya dalam surat ini antara huruf k dan g dibedakan, dimana yang terakhir dilambangkan dengan huruf kaf yang diberi titik di bawahnya. Namun, saya juga ragu bahwa huruf kelima itu adalah d yang diberi pemarkah `—` di atasnya (kelihatannya memang tidak bersambung). Ini beralasan karena bentuknya mirip dengan huruf d di baris-baris lain. Jika demikian halnya, maka kata itu juga bisa dibaca `Jitangdaawu`. Sayangnya, nama ini hanya disebut sekali saja dalam surat ini, sementara saya belum menemukan sumber-sumber lain yang menyebut nama ini, sehingga sulit untuk mencari perbandingan.
[12] Yang dimaksud adalah Joan Maetsuycker, Gubernur Jenderal VOC ke-12 (1653-1678). Lebih jauh mengenai Joan Maetsuycker, lihat L.P. van Putten, Gouverneurs-generaal van Nederlands-Indië, Deel 1: ambitie en onvermogen: 16-10-1796 (Rotterdam: ILCO-Productions, 2002), hlm. 80-5.
[13] `Pun` tersalah letak: diletakkan setelah kata `Buton` di awal baris 18, namun kemudian diberi tanda pembetulan.
[14] Sesuai dengan surat aslinya: sepertinya ada huruf r yang salah tulis (lihat gambar).
[15] `Dualapan` dalam konteks ini berarti `delapan` (8), bukan `duapuluh delapan` (28). Lihat juga bilangan tahun di akhir kolofon ini. Lihat penjelasan lebih lengkap pada pembicaraan tentang konteks kesejarahan K.Ak.98 (4). Penulisan `dualapan` untuk `delapan` dalam naskah-naskah Melayu lama dari Indonesia timur adalah khas dan hal itu dipengaruhi oleh basa ibu (mother tongue) si penulis atau si penyalin. Demikian juga halnya, “[d]alam beberapa bahasa Austronesia yang lain, bilangan sebelas s[ampai] d[dengan] sembilan belas tidak dibentuk seperti dalam bahasa Indonesia, melainkan berupa bilangan sepuluh disusul bilangan satuan, [seperti] sepuluh tujuh, bukan tujuh belas” (Henri Chambert-Loir, Kerajaan Bima dalam sastra dan sejarah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & École Franęaise d`Extrême-Orient, hlm. 40).
[16] Kata yang disisipkan (lihat gambar).
[17] Tampaknya ada kesilapan dalam menuliskan tanggal pada kolofon ini: pertama ditulis `dualapan [8] Jumadilawal`, kemudian diubah menjadi `sembilan [9] Jumadilawal`. Karena kata `sembilan` disisipkan (berarti ditambahkan kemudian), maka logikanya mungkin `sembilan likur hari bulan Jumadilawal…tahun Jim…seribu dualapan puluh genap [1080 H]` adalah tarikh surat ini yang benar. Jika dikonversikan ke tahun Masehi, maka 9 Jumadilawal 1080 H = Sabtu, 5 Oktober 1669, dan 8 Jumadidlawal 1080 H = Jumat, 4 Oktober 1669. Huruf Jim dengan tiga titik di atas merujuk kepada nilai numerik tahun Jim yang digunakan dalam sirkulasi delapan tahunan sistem kalender Islam klasik di Asia Tenggara (Lihat Ian Proudfoot, Old Muslim calendar of Southeast Asia. Leiden-Boston: Brill, 2006). Menurut Ian Proudfoot tanda seperti itu biasanya hanya ditemukan pada naskah-naskah primbon Jawa dan jarang ditemukan dalam kolofon surat-surat Melayu (komunikasi pribadi, 18-4-2009).
[18] Salah satu sumber pribumi yang merekam hebatnya peperangan antara Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin melawan VOC yang dipimpin Speelman adalah Syair Perang Mengkasar yang dikarang oleh Enci` Amin, jurutulis Sultan Hasanuddin sendiri. Lebih jauh mengenai syair ini, lihat C. Skinner (ed.), Syair Perang Mengkasar; sebuah reportase sastrawi bergaya Melayu dari jurutulis Sultan Hasanuddin tentang kejatuhan salah satu kerajaan besar di abad XVII (penerjemah: Abdul Rahman Abu) (Makassar: Ininawa, bekerjasama dengan KITLV Jakarta, 2008).
[19] Lihat Muridan Widjojo, `Cross-cultural alliance-making and local resistence in Maluku during the revolt of Prince Nuku, c.1780-1810` [PhD dissertation, Leiden University, 2007, hlm. 262].
[20] Dikutip dari transliterasi Hikayat Raja-Raja Siam yang dikerjakan oleh Monique Zaini-Lajoubert, berdasarkan naskah KITLV Leiden Or.75 dengan membandingkannya dengan versi UB Leiden Cod.Or.2011. Lihat: Monique Zaini-Lajoubert, Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri (Jakarta: École Franęaise d`Extrême-Orient), hlm. 145.
[21] Mengenai kepercayaan masyarakat Buton, lihat antara lain Pim Schoorl, Masyarakat, sejarah, dan budaya Buton (Jakarta: Djambatan, 2003).
[22] Keterangan ini berdasarkan Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan adat fiy Darul Butuni (Buton) (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, Jilid II, hlm. 46-66) yang banyak merujuk kepada A. Ligtvoet, “Beschrijving en geschiedenis van Boetoen”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 26 (1878): 1-112.
[23] Abdul Mulku Zahari (op.cit), hlm. 62-3.
[24] Lihat Suryadi, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur”, hlm. 227 [c.13].
[25] Demikianlah umpamanya, dalam surat raja-raja Bima di Pulau Sumbawa, ungkapan merendah yang lazim dipakai adalah: “… yang tiada dengan sepertinya, seupama daun kayu kering ditiup angin di tengah padang adanya” (dengan beberapa variasi kecil). Lihat: Suryadi, “Surat-surat Sultan Bima Abdul Hamid kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, makalah pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XI (Bima, Nusa Tenggara Barat, 26-28 Juli 2007).

Website Terkait:
http://niadilova.blogdetik.com/2009/05/25/temuan-dokumen-sejarah-sulawesi-tenggara-surat-tertua-kerajaan-buton-dari-abad-ke-17/#comment-403

Tradisi Sejarah Pada Masyarakat Yang Belum Mengenal Tulisan

>
I. Tradisi Sejarah Pada Masyarakat Yang Belum Mengenal Tulisan.

Cara Masyarakat Yang Belum Mengenal Tulisan Mewariskan Masa Lalunya.
Kemampuan manusia dalam berbicara menggunakian bahasa lisan dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan, bukan berarti mereka tidak punya kemampuan untuk merekam dan mewariskan pengalaman masalalunya. Dengan potensi adalah tradisi lisanlah mereka merekam dan mewariskan masa lalunya.

Tradisi lisan dapat di artikan sebagai kebiasaan atau adat berkembang dalam suatu komunitas masyarakat yang direkam dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa lisan. Dalam tradisi lisan terkandung kejadian – kejadian sejarah, adat istiadat, cerita, dongeng, pribahasa, lagu, mantra, nilai moral, dan nilai keagamaan.

Dalam tradisi lisan, peranan orang yang dituakan seperti kepala suku atau ketua adat sangat penting. Mereka diberi kepercayaan oleh kelompoknya untuk memelihara dan menjaga tradisi yang diwariskan secara turun temurun.

Satu kelompok masyarakat dengan nilai, norma, tradisi, adat dan budaya yang sama akan mempunyai jejak – jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan jejak-jejak masa lampaunya disebarluaskan dan diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya secara lisan sehingga menjadi bagian dari tradisi lisan. Karya-karya dalam tradisi lisan merupakan bagian dari sebuah folklore.

Cara Masyarakat yang Belum Mengenal Tulisan Mengembangkan Tradisi Sejarah
Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan yang dimaksud dengan tradisi sejarah adalah dalam bentuk mempertahankan adapt istiadat, petuah leluhur dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Cara mereka mengembangkan tradisi sejarah adalah dengan mewariskannya secara lisan melelui ingatan kolektif anggota masyarakatnya.
Cara lain adalah dalam bentuk dibuatnya sebuah karya seperti lukisan, monumen, tugu,dan peralatan hidup. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari pengembangan tradisi sejarah untuk diwariskan kepada generasi berikutnya yang melihat karya itu. contohnya dalam bentuk lukisan di dinding gua, tugu, dan monumen yang berhubungan dengan kepercayaan animisme, perkakas yang terbuat dari batu maupun logam dan kepercayaan terhadap arwah nenek moyang.

Jejak Sejarah Dalam Foklore (Mitos, Legenda, Dongeng, Lagu Rakyat dan Upacara Adat).
Folklore diartikan sebagai sekelompok orang (komunitas) yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik (bahasa, rambut, warna kulit), sosial dan budaya sehingga dapat dibedakan dari kelompok masyarakat lainnya. Ciri-ciri folklore adalah sebagai berikut: penyebaran dan pewarisannya lebih banyak secara lisan, bersifat tradisional, bersifat anonym (pembuatannya tidak diketahui), kolektif (menjadi milik bersama dari sebuah kelompok masyarakat ), mempunyai pesan moral bagi generasi berikutnya.

Menurut Harold Brunvan (USA), folklore terbagi kedalam tiga tipe yang meliputi :

1. folklore lisan merupakan fata mental (mentifact) diantaranya : logat bahyasa (dialek)
dan bahasa tabu, ungkapan tradisional dalam bentuk pribahasa dan sindiran, puisi
rakyat yang meliputi mitos legenda, dongeng .

2. folklore sebagai lisan merupakan fakta social (sosiofact) diantaranya dalam bentuk
kepercayaan dan takhayul, permainan rakyat, tarian rakyat, teater rakyat, dan upacara
tradisional.

3. folklore bukan lisan merupakan artefak (artifact), diantaranya dalam bentuk : arsitektur
bangunan rumah adat (tradisional), seni kerajinan tradisional, pakaian tradisional,
obat-obatan tradisional, alat musik tradisional, senjata tradisional, makanan
tradisional.

Mitos
Dalam prosa rakyat dikenal dengan yang namanya mitos, legenda dan dongeng . mitos adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh masyarakatnya. Mitos pada umumnya mengisahkan tentang dewa, penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan awal. Beberapa contoh mitos adalah : Leak di Bali, Rorokidul di Jawa, Dewi Sri (dewi padi), dll.

Legenda
Legenda biasanya diartikan cerita rakyat yang berisi tentang terbentuknya (terjadinya ) suatu wilayah. Menurut Halrod Brunvand ada 4 macam :

1. legenda keagamaan berisi tentang cerita orang-orang yang dianggap suci atau saleh
dengan tambahan segala macam keajaiban, kesaktian dan benda-benda keramat,
contoh : Wali Sanga, Sunan Kali Jaga, Syekh Siti Jenar, dll.
2. legenda alam gaib adalah cerita yang berhubungan dengan kepercayaan dan
takhayul yang berhubungan dengan keghaiban. Biasanya menceritakan tentang
hantu, genderewo, sundel bolong atau mahluk jadi-jadian. Contohnya cerita Si Manis
Jembatan Ancol (Betawi), Kisah Harimau menjelma Raja Siliwangi (Sunda), kisah
orang Bunian (Sumatera), kuntilanak, dll.
3. legenda lokal adalah cerita tentang asal mula terjadinya (terbentuknya) nama suatu
tempat , danau, gunung,bangunan dll. Contohnya : cerita terbentuknya Danau Toba
(Sumut) , kisah Sangkuriang (Sunda), Roro Jongrang (Jateng), terbentuknya gunung
Batok dan nama Tengger (Jawa),dll.
4. legenda perseorangan adalah cerita rakyat tentang tokoh-tokoh yang dianggap dan
diyakini oleh suatu masyarakat pernah ada. Pada umumnya mengisahkan tentang
kepahlawanan, kesaktian atau kisah cinta dari tokoh tersebut. Contohnya : kisah Si
Pitung, Nyai Dasima (Betawi), Sabai Nan Aluih, Si Pahit Lidah (Sumbar), cerita Panji
Warok Suro Menggolo (Jatim), Joko Tingkir, Roro Mendut (Jateng), Lutung Kasarung,
Mundinglaya di Kusuma (Jabar), Jayaprana dan Layon Sari (Bali).

Dongeng
Dongeng adalah cerita rakyat yang bersifat khayal, sama sekali tidak pernah terjadi dan hanya bersifat hiburan tetapi di dalamnya mengandung pesan moral, petuah dan sindiran. Dongeng dapat digolongkan ke dalam bentuk dongeng binatang, dongeng manusia dan dongeng jenaka.

Pada umumnya dongeng binatang disebut Fabel, di Jawa dan Bali dinamakan Tantri . di Indonesia tokoh binatang yang paling terkenal adalah kancil yang digambarkan sebagai binatang yang cerdik dan banyak akal. Selain itu adalah tokoh kera, kura-kura, buaya, harimau, keong, kerbau, anjing, kucing, tikus, dll.

Dongeng manusia biasanya menceritakan tokoh manusia dengan segala macam kisah suka dukanya. Di beberapa daerah dongeng manusia kadang-kadang bertema sama yang membedakan hanya nama dan lokasinya saja. Dongeng dengan tema seorang pemuda mencuri pakaian bidadari yang sedang mandi adalah Jaka Tarup (Jatim). Pasir Kujang (Jabar), Raja Pala (Bali). Dongeng tentang penderitaan anak gadis karena ulah saudara dan ibu tirinya adalah bawang merah bawang putih (Betawi).

Dongeng jenaka adalah dongeng yang tokohnya bersifat bodoh, lugu, pander, jenaka tapi banyak akalnya. Tokoh dongeng jenaka adalah : Si Kabayan (Sunda), Lebai Malang, Pak Belalang (Melayu).

Nyanyian (Lagu) Rakyat
Nyanyian rakyat (folksong) adalah bentuk puisi yang dinyanyikan sehingga kata syair dan lagu nada merupakan satu kesatuan. Menurut materinya lagu rakyat di bedakan atas lagu anak, lagu umum, lagu religius. Berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi : lagu mengiringi tarian, lagu untuk mengiringi permainan dan lagu untuk dinyanyikan.
Lagu anak banyak pula yang digunakan untuk mengiringi tarian atau permainan, contoh : cublak-cublak suweng, cingcangkeling, pokame-ame, dll. Lagu umum ada pula yang dinyanyikan untuk mengiringi tarian atau dinyanyikan biasa seperti kicir-kicir, jail-jali (Betawi) ampar pisang (Kalimantan). Lagu religius umumnya berisi pujian terhadap tuhan , dinyanyikan pada upacara yang berhubungan dengan kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, panen, dll. Ada pula yang dipakai untuk mengiringi tarian seperti tari saman dan seudati (Aceh).

Di Jawa Tengah dan Timur salah satu bentuk nyanyian rakyat dikenal dengan nama gending seperti sinom, pucung, asmarandana, dll. Sedangkan di Jawa Barat yang seperti itu dinamakan dengan pupuh.

Adat Kebiasaan
Upacara adat biasanya didasari oleh sebuah kepercayaan, upacara yang dilakukan dimaksudkan untuk mendapatkan sebuah kebaikan atau menghindarkan diri dari malapetaka dalam kehidupan masyarakat yang melakukannya. Contohnya upacara larung samudro di pantai selatan Jawa, pesta laut di pantai utara Jawa, kasodo di Tengger (Gunung Bromo), Seketan, Grebeg (Yogyakarta dan Surakarta) panjang jimat (Cirebon).

Selain yang berhubungan dengan mitos dan legenda, banyak pula upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan mulai dari masa kehamilan, kelahiran, sunatan, perkawinan, dan Kematian.


II. Tradisi Sejarah pada Masyarakat yang Telah Mengenal Tulisan

1. Tradisi Sejarah Masyarakat di Indonesia

Pengaruh Tulisan dan Karya Lontar
Sejak masyarakat Indonesia mengenal tulisan (memasuki jaman sejarah ) sebenarnya tradisi sejarah pada masyarakat Indonesia telah terbentuk melalui berbagai prasasti yang ada. Perkembangannya kemudian diperluas dengan kemampuan masyarakat dalam berkomunikasi dan perkembangan bahasa di Indonesia. Bahkan kemudian muncul golongan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk mengubah atau menulis berbagai karya sastra. Naskah-naskah karya sastra kuno tersebut di tulis pada daun lontar sehingga lebih dikenal dengan istilah kitab lontar.

Contoh prasasti di beberapa daerah di Indonesia: prasasti kutai berbahasa sansakerta dan tulisan palawa (dari kerajaan kutai), prasasti dari kerajaan trauma yang berbahasa sansakerta dan tulisan pallawa, prasasti dari kerajaan Sriwijaya pada umumnya memakai bahasa melayu dan tulisan sansakerta, prasasti dari Mataram kuno pada umumnya ditulis dengan huruf pallawa bahasa sansakerta tetapi telah mulai ada tulisan dan bahasa Jawa kuno.

Selain tulisan dan bahasa tradisi sejarah di Indonesia dipengaruhi pula oleh perkembangan karya sastra, contohnya kitab Ramayana dan Mahabarata yang berasal dari India diubah dalam bahasa jawa kuno (dari jaman mataram kuno). Kitab Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, Samaradhahana karya Mpu Dharmaja, Hariwangsa, Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh (dari jaman Kediri). Kitab Negara Kertagama karya Mpu Prapanca, Sutasoma, Arjuna wijaya karya Mpu Tantular, Kutaramanawa karya Gajah Mada, Pararaton, Sundayana (dari jaman Majapahit).

Tradisi Sejarah dalam Lingkungan Istana
Pada umumnya tradisi sejarah di Indonesia berada dalam lingkungan keraton (istana sentries) dimana hasilnya dikenal dengansejarah tradisional (historiografi tradisional). Dalam lingkungan keraton terdapat orang yang ahli menuliskan tradisi sejarah disebut pujangga. Para pujangga menuliskan silsilah keluarga raja, kebijaksanaan raja, hukum maupun karya sastra. Untuk memperkuat tulisannya biasanya para pujangga menggunakan mitos dan legenda dalam tradisi sejarahnya, sehingga tokoh raja dalam tulisannya akan mendapatkan pulung (charisma) yang diwariskan penguasa sebelumnya
Contoh karya historiografi tradisional : Kitab Pararaton, Sundayana, Pustaka Wangsakerta, Carita Parahyangan, Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, sejarah melayu, kronik Wajo, kronik Kutai, Negarakertagama, Sutasoma, dll.


Tradisi Sejarah Lokal

Selain tradisi sejarah dalam lingkungan istana, tradisi sejarah berkembang pula beberapa daerah, wilayah (lokal) tertentu. Sejarah lokal dapat diartikan sebagai sejarah dari kelompok masyarakat yang berbeda dalam daerah dan geografis tertentu, walaupun sebenarnya sulit untuk menentukan batas-batas geografisnya. Contoh sejarah lokal adalah buku "Pemberontakan Petani Banten 1888" karangan Hartono Kartodirdjo, sejarah Jawa Barat dll.

III, Penulisan Sejarah di Indonesia
Historiografi adalah tahap akhir dari metode penelitian sejarah, yang dituliskan dalam sejarah merupakan cara untuk mengetahui dan memahami jejak masa lampau manusia. Perkembangan penulisan sejarah di Indonesia terbagi atas tiga corak yaitu : tradisional, colonial, nasional.

Ketiga historiografi tersebut tidak didasari oleh pendekatan ilmiah, tetapi hanya untuk legitimasi penguasa dan kekuasaan, bersifat politis dan berisi pembenaran terhadap identitas dan menunjukan kejayaan dari penguasa.

Historiografi Tradisional
Dalam historiografi tradisional, penulisannya tidak bertujuan untuk mengungkap fakta dan kebenaran sejarah. Historiografi tradisional didominasi oleh lingkungan keraton. Para Raja mempunyai kepentingan untuk melegitimasi kekuasaan dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Historiografi tradisional bersifat ento sentries (kedaerahan), istana sentries (lingkungan keraton) dan magis religius (dilandasi unsur magis dan kepercayaan), makanya hasil historiografi tradisional selain dalam bentuk sejarah ada pula dalam bentuk sastra, babad, kronik, dll.

Dalam historiografi tradisional tokoh sejarahnya sering dihubungkan dengan tokoh popular jaman dahulu bahkan dengan tokoh yang ada dalam mitos maupun legenda . hal ini di maksudkan untuk mengukuhkan dan melegitimasi kekuasaan, identitas dari tokoh tersebut serta untuk mendapatkan pulung (charisma) yang diwariskan dari tokoh-tokoh sebelumnya.

Contoh dalam kitab Negarakertagama , Ken Arok (Raja Singosari pertama) dianggap sebagai anak Dewa Brahma dan titisan Dewa Wisnu, dalam babad tanah jawi disebutkan bahwa raja Mataram Islam pertama merupakan keturunan dari para nabi , tokoh wayang dalam Mahabharata, Iskandar Agung dari Macedonia, raja-raja Jawa bahkan punya hubungan dengan Nyai Roro Kidul penguasa pantai selatan.

Historiografi Kolonial
Historiografi colonial tentunya tidak lepas dari kepentingan penguasa colonial dalam melanggengkan imperialismenya di Indonesia. Kepentingan itu termasuk interpretasi mereka terhadap fakta sejarah. Contohnya: berbagai perlawanan yang terjadi pada masa kolonial seperti perang Aceh, Diponogoro, Padri, dll. Dalam pandangan historiografi kolonial dianggap sebagai tindakan ekstrimis, pemberontakan yang harus ditumpas karena dianggap mengganggu stabilitas pemerintahan. Sedangkan menurut sejarah nasional dianggap sebagai pejuang dan pahlawan yang bertujuan mengusir kolonial.

Dalam historiografi kolonial yang bersifat neerlando sentries, VOC merupakan pemersatu, demikian juga dengan kemerdekaan Indonesia, yang menurut versi Belanda adalah 27 desember 1949 melalui penyerahan kedaulatan sebagai realisasi dari KMB, sedangkan bangsa Indonesia mengakui kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945.

Historiografi Nasional
Perkembangan historiografi Indonesia (nasional) pertama kali muncul justru pada saat kondisi didominasi historiografi kolonial . momentum tersebut muncul ketika pada 1913, Husein Djayadiningrat menerbitkan buku hasil desertasinya yang berjudul tinjauan kritis sejarah banten. Buku tersebut bahkan memenuhi kriteria sebagai sejarah modern (ilmiah ) karena memuat uraian dari berbagai aspek(politik, sosial, ekonomi, dan fisiologi).

Upaya perintisan historiografi nasional (penulisan sejarah nasional) muncul kembali setelah memasuki jaman kemerdekaan. Hal itu dirasa perlu karena penulisan sejarah yang ada adalah warisan kolonial yng bersifat neerlando sentries, dimana Indonesia dilihat dari sudut pandang dan kepentingan kolonial Belanda.

Sebagai Negara yang baru merdeka mutlak di perlukan sebuah historiografi nasional sebagai identitas yang akan menunjukan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Pemerintah yang baru terbentuk juga menghendaki legitimasi kekuasaan bukan hanya dari rakyat , yang lebih penting adalah pengakuan internasional terhadap keberadaan bangsa dan Negara Indonesia yng merdeka.

Seminar sejarah nasional di Yogjakarta 1957, menjadi titik tolak kebangkitan historiografi nasional. Hal yang paling penting dari seminar tersebut adalah: pencarian identitas nasional, rekonstruksi penulisan sejarah nasional dari kolonial sentries menjadi Indonesia sentries sehingga sejarah nasional dapat menjadi alat pemersatu bangsa.



Sumber tulisan:

http://sejarahundonesiamerdeka.blogspot.com/2008/07/tradisi-sejarah-dalam-masyarakat.html